Bukhari dan Sejuta Hadits di
Kepalanya
(194 - 256 H)
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim
Ibnu al-Mughirah al- Bukhari yang kemudian dikenal dengan nama Imam Bukhari,
sejak lahir seakan sudah dipersiapkan untuk menjadi ahli hadits dan fiqh
ternama. Ia menjadi pengumpul hadits shahih terbesar dengan kemampuannya
menghafal 100 ribu hadits shahih dan 200 ribu hadits tidak shahih. Ia adalah
seorang perintis dan pengembang lebih jauh tentang penyusunan kitab hadits, yang
dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia. Hasil kerja ilmiahnya itu,
dibukukan ke dalam sebuah kitabnya yang sangat terkenal dan monumental, yang
diberinya judul Al-Jami' ash-Shahih, yang di kalangan ummat Islam menduduki
ranking kedua setelah Kitabullah.
Tatkala menyusun kitab shahih yang
populer dengan dengan Kitab Shahih Bukhari itu, di dalam memori pikiran Imam
Bukhari telah tersimpan satu juta hadits dari delapan puluh ribu rawi. Dari
jumlah itu, 7.275 buah hadits saja yang dianggapnya shahih, termasuk banyak
hadits yang diulang- ulang dari berbagai bab yang terdapat dalam kitab
tersebut. Sedang untuk kitab shahih-nya ia memilih 9.082 hadits yang ditulisnya
dalam waktu 16 tahun. Semuanya itu ia lakukan selama masa pengembaraannya di negeri
orang. Dikatakan oleh KH. Jamil Akhmad dalam bukunya Hundred Great Muslims,
"Sebagian terbesar tulisan Imam Bukhari yang terdapat dalam kitab Jami'us
Shahih, penulisannya dikerjakan di samping makam Rasulullah saw di Madinah
dalam kondisi suci dari najis."
Sebagai seorang ahli hadits, reputasi
kepakaran dan kealimannya belum tertandingi oleh siapa pun sampai saat ini.
Betapa tidak, pada umur kurang dari sepuluh tahun ia sudah menghafalkan hadits.
Pada umur sebelas tahun ia telah sanggup mengoreksi kesalahan sanad hadits. Dan
dalam umur enam belas tahun ia telah hafal beberapa buah kitab hadits karangan
Ibnu al-Mubarak dan karangan Waqi'.
Imam Bukhari dilahirkan pada 13 Syawal
194 H/816 M, di Bukhara. Masa balitanya dilaluinya dengan penderitaan yang
sangat memilukan hati kedua orang tuanya, disebabkan buah hatinya mengalami
kebutaan total. Namun, permohonan ayah dan ibunya dikabulkan oleh Allah,
setelah sebelumnya ibu Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim as,
yang dalam mimpinya mengatakan, "Doamu dikabulkan oleh Allah swt."
Dan ternyata benar, Bukhari sembuh total dari penderitaan kebutaan pada
keesokan harinya.
Setelah memasuki usia remaja tepatnya
pada usia 16 tahun bersama ibu dan abang sulungnya, Rasyid Ibnu Ismail, Bukhari
mengunjungi berbagai kota suci terutama Makkah dan Madinah. Dua tahun belajar
di dua kota tersebut, ia telah mampu menyelesaikan tulisannya yang berjudul
Qadaaya ash-Shahaabat wa at-Taabi'iin. Lalu mulailah ia melakukan perjalanan ke
luar negeri untuk mempelajari ilmu hadits dengan mendatangi beberapa pakar
hadits di beberapa negara di timur tengah. Ia telah mengunjungi Iraq, Khurasan,
Syria, dan Mesir untuk memperdalam kepakarannya.
Mengenai kecerdasan dan kemampuan
menghafal Imam Bukhari, banyak pakar hadits yang memberikan kesaksian, di
antaranya Ibnu Khuzaimah (w. 311 H). Katanya, "Saya tidak tahu jikalau ada
di bawah langit Allah ini orang yang paling alim dengan hadits Rasulullah
selain al-Imam al-Bukhari." Bahkan ada seorang tokoh yang kesohor, yang
sangat mengaguminya yaitu Imam Muslim Ibnu al-Hajjaj (204-261 H) yang
mengatakan pujiannya itu langsung kepada Imam Bukhari, "Biarkanlah aku
cium dua kakimu wahai guru dari segala guru dan tokoh dari segala ahli
hadits."
Ketenaran Imam Bukhari segera mencapai
bagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu dielu-elukan.
Masyarakat heran dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Banyak cendekiawan
dan orang shalih dari seluruh dunia menjadi muridnya. Termasuk di antaranya
Sheikh Abu Zarah Abu Hatim Tarmizi, Muhammad Ibnu Nasr, Ibnu Hazima, dan Imam
Muslim.
Di samping terkenal sebagai Imam
al-Muhaddisiin, ia juga terkenal sebagai seorang ahli hukum fikih dan sebagai
mujtahid. Bahkan ia juga pernah menulis kitab tafsir At- Tafsir al-Kabiir dan kitab
sejarah at-Taariikh al-Kabiir.
--------------------------------------------------------------------------------
Untuk mengembangkan keahliannya di
bidang hadits, Imam Bukhari menyempatkan diri hijrah untuk beberapa lama dan
tinggal di Bagdad. Selama di Bagdad waktunya dihabiskan untuk mempelajari
hadits dan bersilaturrahim kepada ulama-ulama ahli hadits. Inilah awal namanya
dikenal di kalangan pakar hadits di luar kampung halamannya.
Apalagi setelah ia dianggap 'lulus'
dari ujian yang mereka lakukan. Suatu saat ulama-ulama ahli hadits di kota itu
mengundang Imam Bukhari dalam suatu acara temu ilmiah yang khusus membahas
ilmu-ilmu hadits. Dalam pertemuan tersebut ada sekelompok pakar hadits yang
meminta kepada Bukhari menyusun kembali seratus hadits yang telah diacak baik
sanad maupun matan-nya. Ternyata Bukhari memang ahli di bidangnya, ke-seratus
hadits tersebut mampu disusunnya kembali tanpa ada kesalahan satu pun.
Merasa cukup mempelajari ilmu hadits,
Imam Bukhari pulang kampung. Tak pelak kehadirannya mendapatkan sambutan yang
luar biasa. Tidak hanya masyarakat awam, tapi gubernur Khalid bin Ahmad pun
menyambutnya dengan gembira. Saking kagumnya gubernur berhasrat mengundang sang
Imam agar mau memberikan pelajaran privat kepada putra-putranya di kediaman
gubernur. Namun Imam Bukhari yang dikenal sangat pendiam, pemalu, pemberani,
tawadlu', dan dermawan ini tidak mengabulkan permintaan gubernur. Ia hanya mau
mengajar siapa saja manakala muridnya bersedia datang belajar di rumahnya.
Tentu saja gubernur, yang tidak biasa
mendengar perintahnya ditolak, jadi marah-marah oleh sikap Bukhari. Sang
gubernur kemudian mengusirnya dari kampung kelahirannya.
Tak ada jalan lain. Sekalipun biasa
mengembara, mneninggalkan kampung halaman dengan status orang usiran tentu
dirasanya tak enak. Tapi apa mau dikata. Bukhari pun berhijrah. Tidak terlalu
jauh, karena masih di Asia Tengah. Ia menetap di Samarkand. Kegiatannya di sana
sama saja, mengajar dan mempelajari hadits, hingga ia meninggal pada usia 62 tahun.
Eloknya, kewafatannya bertepatan dengan malam 'Idul Fitri 256 Hijriah, setelah
genap 30 hari puasa dijalani.
--------------------------------------------------------------------------------
Di jaman Imam Bukhari, banyak orang
yang telah melakukan penyelewengan terhadap hadits-hadits Rasulullah saw untuk
berbagai kepentingan. Bentuk penyelewengan itu dapat berupa pemalsuan,
pembelokan makna, ataupun pengaburan sumber dan keterangannya. Maklum, penjual
agama saat itu memang banyak sekali bergentayangan.
Medan ilmu hadits bagaikan lautan yang
luas tak bertepi, karena di sini --tidak sebagaimana terhadap, kitab al-
Qur'an-- terbuka kesempatan untuk melakukan penyelewengan. Dalam kondisi jalur
komunikasi belum selancar sekarang, keabsahan terhadap suatu hal tidak bisa
dikoreksi secara terbuka. Membuat hadist baru gampang dilakukan, terutama bagi
mereka yang memiliki kekuasaan. Itulah sebabnya banyak beredar hadits palsu,
bercampur dengan hadits asli.
Untunglah Bukhari hadir. Dari
kecemerlangan pemikirannya, lahir standarisasi ilmu hadits, yang bisa
dipergunakan sepanjang masa. Ia menetapkan ukuran-ukuran bagi sebuah hadits
agar layak dikelompokkan ke dalam hadits shahih. Itulah dasar-dasar ilmu hadits
yang tetap menjadi pegangan hingga sekarang.
Dalam tahap penyeleksian hadits-hadits
shahih, nampaklah kejeniusan dan kepakaran Bukhari. Ia memilih dan memilahnya
dengan sangat teliti. Bukhari memang sangat teguh memegang amanat dalam
mengemukakan isi hadits yang diriwayatkannya, dan secara moral ia
mempertanggungjawabkannya dengan sungguh-sungguh. Ia melakukan proses ijtihadi
yang mendalam dan detail untuk sampai pada tujuan hakiki dengan seluruh cara
yang paling baik dan benar.
Ukuran utama yang dijadikan pedoman
untuk mengetahui apakah sebuah hadits itu shahih atau palsu dimulainya dari
kebenaran dan kejujuran para perawi hadits, ahli hadits, berikut identitas
mereka. Ia juga meneliti sampai sejauh mana ketaqwaan, kejujuran, dan fanatik
madzab orang-orang yang terlibat secara langsung dalam mata rantai
periwayatannya.
Bila mereka terbukti bersih dan tidak
terlibat hal-hal tersebut di atas, ia anggap orang itu layak untuk dipercaya
(tsiqat). Terlebih bila ada ketersambungan jaman dengan orang-orang yang
meriwayatkan hadits, penulis hadits, dan namanya tercantum dalam mata rantai
perawi hadits itu, maka, oleh Imam Bukhari, hadits itu dianggap shahih.
Jadi keshahihan hadits menurut Bukhari
terletak pada sanad (mata rantai rawi), bukan pada matan (isi atau inti)
haditsnya. Ia pernah mengatakan, "Sanad merupakan tiang pancang hadits.
Bila ia roboh, akan robohlah haditsnya. Jika sanad itu benar, hadits dapat
diterima, walau bagaimanapun isinya. Meskipun isi hadits itu berlawanan dengan
logika atau sejarah yang sudah benar."
Metodologi inilah yang oleh Husein
Ahmad Amin dikritik. Dikatakannya, cara seperti ini bisa terkecoh siasat
pemalsu hadits. Misalnya, bisa saja seseorang membuat silsilah atau mata rantai
riwayat yang sangat bagus hingga tak mungkin dikesampingkan, dan isinya
didasarkan atas logika yang benar. Toh tidak mungkin semua manusia mencapai
tingkat pemahaman atas semua hadits Rasulullah saw.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya
menyatakan, "Dasar penyeleksian hadits shahih dari yang palsu adalah
dengan menggunakan pembedaan antara yang mungkin dan yang mustahil."
Sedangkan menurut Ibnu Abdul Barr dan Imam Nawawi, "Hadits shahih itu
harus tidak bertentangan dengan logika dan hakekat sejarah."
Namun Imam Bukhari dalam Shahih-nya
tetap menegaskan, "Hadits shahih adalah hadits yang keshahihannya
disepakati oleh rawi tsiqat yang meriwayatkan dari seorang sahabat yang
masyhur, yang tidak terjadi perselisihan pendapat di antara para tsiqat itu
sendiri. Selain itu, mata rantai sanad hadits itu harus bersambung, tidak
terputus." Berbagai pendapat ini sebenarnya berujung pada satu titik yang
sama, yakni keshahihan hadits mensyaratkan terpercayanya perawi dan kebenaran
isinya. Adapun terhadap Imam Bukhari, selayaknya tetap dihargai keseriusan dan
jasa- jasanya, apalagi ia terbiasa mandi dan shalat dua rakaat sebelum
memutuskan sebuah hadits termasuk shahih.
Luasnya samudra ilmu Bukhari membuatnya
semakin tawadhu dan pemalu. Suatu kali ia pernah berkata, "Aku berharap
untuk berjumpa dengan Allah, dan Dia tidak meng-hisab-ku yang telah menggunjing
orang." Ucapannya ini dibuktikan dengan caranya mendaifkan hadits yang
diseleksi. Jika menemukan rawinya batal atau tertolak, ia cukup mengatakan,
"Ada sesuatu dalam dirinya," atau, "Mereka tidak berkata apa-apa
tentang dirinya." Jarang sekali Bukhari sampai mengatakan dengan terus
terang, "Fulan itu seorang pembohong."
Betulkan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda yang bisa membangun bagi blog ini oke!!!