MAKALAH FIQIH WAKAF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf
yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi
merupakan interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan
pendermaan harta berupa sedekah dan amal jariah.
Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS. Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf. Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS. Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian, Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan. Wakaf salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi dari rasa keimanan seseorang yang mantap dan rasa solidaritad yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “hablumminallah, wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Selanjutnya akan dibahas lebih dalam tentang wakaf pada makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi persoalan dalam
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa Pengertian
Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf ?
2. Bagaimana
Sejarah Wakaf ?
3. Apa saja
Macam-macam Wakaf ?
4. Apa Syarat dan
Rukun Wakaf ?
5. Bagaimana Hikmah
dan Manfaat Wakaf dalam Kehidupan ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf
1. Pengertian Menurut Bahasa
Menurut
bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan)
, al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[1] Perkataan wakaf yang menjadi bahasa
Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata
yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau
fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi).
Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa
dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di
tempat.[2]
2. Pengertian Menurut Istilah
Sedangkan
menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk
diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang
kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula
diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada
beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian
wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya
untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian
wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah
dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang
yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta
tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih
hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik
untuk dijual atau dihibahkan.
Pengertian
wakaf menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya
tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah /
PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari
definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu
diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan
adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan,
misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum,
misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan
sebagainya.
Hukum wakaf
sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan
sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya
terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus
selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya
Nabi SAW bersabda:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ
صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.”[3]
Harta
yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi,
harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang
artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.
Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu
kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka
tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu,
Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak
dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”(HR Bukhari dan Muslim).
3. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang
menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a. Ayat Al-Quran, antara lain :
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan
kemenangan”(QS: al-hajj: 77)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuiny”
(QS: al-imran: 92).
b. Sunnah Rasulullah SAW.
Yang
artinya : Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW,
bersabda“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya,
kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
Dalam
sebuah hadits lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu
Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi SAW Saya mempunyai seratus
dirham saham di Khabair. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya
kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatakan
kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal
pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Wakaf menurut Interprestasi Ulama
Sumber
hukum perwakafan selain Al-quran dan al-Hadits, maka Ijtihad (Interprestasi
Mujtahid) merupakan sumber ketiga. Peranan ulama mujtahid akan mampu
memperjelas hukum sekiranya dalam dua sumber utama kurang jelas atau membuthkan
pemikiran. Dan diantara para Mujtahid itu adalah Abu Hanifah, Malik,
As-Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Yusuf Hanafi. Dari hasil
usaha pemikiran mereka, lalu dipakai sebagai acuan dalam perwakafan.
d. Perundang-undangan Wakaf
Di
Indonesia, selain bersumber kepada agama, juga bersumber pada hukum positif,
yang merupakan hasil pemikiran pakar hukum di Indonesia. Bila diinventarisir
samapi sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang mengatur masalah
perwakafan. Di antaranya ada undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
B. Sejarah
Wakaf
Mengenai
sejarah munculnya istilah wakaf, memang sulit menetapkan kapan munculnya istilah
tersebut, karena dalam buku-buku fiqih tidak ditemui sumber yang menyebutkan
secara tegas. Tetapi secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa sebelum Islam
lahir, belum dikenal istilah wakaf. Begitu juga halnya bahwa orang-orang
jahiliyah belum pernah mengenal dan mengetahui tentang wakaf.
Sejalan
dengan itu, Imam Syafi’I juga berpendapat bahwa pada zaman Jahiliyah tidak
ditemukan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa mereka pernah melakukannya.
Mereka tidak pernah mewakafkan rumahnya atau pun tanahnya yang saya ketahui,
kata Imam Syafi’I, “Sesungguhnya wakaf itu (habs) itu khusus milik orang
Islam.”
Pendapat
yang senada juga datang dari An-Nawawi, “wakaf itu khusus ada bagi
orang-orang Muslim”. Ini artinya pada zaman sebelum Islam datang wakaf
belum dikenal. Sayyid Sabiq, lebih tegas menyatakan munculnya istilah wakaf
setelah Islam datang dan berkembang. Kemudian semakin populer setelah Nabi
Muhammad SAW secara langsung mempraktekannya.
Mayoritas
Ulama menyatakan, asal mula di syariatkannya ibadah wakaf dalam Islam pada masa
Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah diperkebunan Khaibar, sebagaimana
tergambar dalam hadits. Kepada Rasulullah, Umar meminta pendapat tentang
hartanya itu. Saat itu Rasul menasehatkan, jika Umar suka lebih baik tanah itu
diwakafkan saja dan hasilnya disedekahkan kepada orang yang memebutuhkan. Tanah
tersebut langsung diwakafkan Umar serta hasilnya disedekahkan kepada fakir
miskin, untuk memerdekakan budak dan kepentingan lainnya di jalan Allah,
sedangkan bagi nadzir (orang yang mengurus wakaf itu) diberi
upah sekedarnya.
C.
Macam-Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat
dibagi menjadi dua macam :
1. Wakaf Ahli (dzurri)
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih,
keluarga si wakif atau bukan. Dalam pengertian lain wakaf dzurri adalah wakaf
yang di khususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu,
saudara, atau ibu bapaknya.[4]
Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya
wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung hadits dinyatakan
sebagai berikut, yang artinya:
“Aku telah
mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu
memberikannya kepada keluarga terderkat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para
keluarga dan anak-anak pamannya”.
Dalam satu
segi, wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat
dua kebaikan, yaitu dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahmi
terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.
2. Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama / keagamaan atau
kemasyarakatan / kebajikan umum. Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan
lain sebagianya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas
penggunaanya yang mencakup semua aspek kepentingan dan kesejahteraan umat
manusia pada umumnya.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan
dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin
mengambil manfaat. Dam jenis wakaf inilah sesungguhnya paling sesuai dengan
tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif
(orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang
diwakafkan itu, seperti wakaf mesjid maka si wakif boleh saja di sana, atau
mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut
sebagaimana pernah dilakukan Nabi SAW dan sahabat Ustman bin Affan.
Secara substabsinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara
membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dengan demikian, benda
wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum),
tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
D. Syarat
dan Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya apabila terpenuhi
rukun dan syaratnya.
1. Rukun Wakaf
1) Orang yang berwakaf (wakif),
syaratnya;
a. Mempunyai kecakapan untuk melakukan
tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.
b. baligh,
berakal sehat, dan tidak terpaksa.
2) Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf bih),
syaratnya;
a. Harta yang bernilai dan tahan lama.
b. Milik sendiri walaupun hanya sebagian yang
diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan
dengan bagian yang lain)
3) Mauquf’Alaih atau Tempat
berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki
sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4) Akad / Shighat (pernyataan
atau ikrar wakif/peruntukan wakaf), misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid,
sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab)
kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)
2. Syarat Wakaf
Syarat-syarat wakaf secara umum sebagai
berikut:
1) Wakaf tidak dibatasi dengan waktu
tertentu sebab perbutan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak waktu untuk waktu
tertentu. Bila seseorang mewakafkan
kebun untuk jangka waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf tersebut dipandang
batal. .
2) Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk
mesjid, mushalla, pesantren, pekuburan (makam) dan lainnya. Namun, apabila
seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu
dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga
hukum yang menerima harta-harta wakaf tersebut.
3) wakaf harus segera dilaksanakan
setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang
akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya
hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian
dengan wasiat dan tidaklah bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti
ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.
4) Wakaf merrupakan perkara yang wajib
dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau meneruskan wakaf yang
telah diucapkan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanay.
E. Hikmah
dan Manfaat Wakaf dalam Kehidupan
Manfaat
wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang
disyariatkan Allah Swt kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan
pasti mempunyai hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, khususnya
bagi umat Islam. Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup sekarang maupun
setelah di akhirat nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan pada janji Allah).
Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya
yang terkandung di dalam wakaf ini.
Pertama,
harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau piindah tangan,
karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarrufkan, apakah itu dalam
bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
Kedua,
pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika
ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat
dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf
merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan
agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spritual dana pembangunan
dari segi fisik.
wakaf
disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur seorang hamba atas
nikmat yang telah di anugerahkan Allah Swt, juga berfungsi sosial. Dengan
wakaf, di samping dana-dana sosial lainnya, kepincangan di antara kelompok yang
berbada dan yang tidak berada dapat dipertipis atau jurang antara si miskin dan
si kaya dapat di prtipis dan di hilangkan terutama dalam bentuk wakaf yang
dikhususkan kepada kelompok yang tidak mampu. Dengan wakaf itu juga, penyediaan
sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, seperti mesjid, mushalla dan
gedung-gedung pendidikan akan lebih memugkinkan dengan menggunakan potensi
wakaf yang ada.
Hikmah wakaf kata Ahmad Jarjawi, dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin
dalam artian ekonomi maupun tenaga.
Silain pihak juga bertujuan unutk meningkatkan pembangunan keagamaan. Di
samping itu hikmah lain adalah dapat membentuk jiwa sosial di tengah-tengah
masyarakat. Dapat juga mendidik manusia agar mempunyai tenggang rasa terhadap
sesamanya.
Dampak positif langsung dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang
errat antara si wakif dan maukuf ‘alaih atau anatara si kaya dan si miskin
sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial.
Melalui ibadah wakaf dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik bagi si wakif
(orang yang berwakaf) maupun bagi si maukuf’alaih (orang yang menerima wakaf).
Bagi si wakif dari segi agama mendapat pahala sedangkan maukuf’alaih terlepas
dari kesulitan. Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk mengembangkan
dakwah Islamiyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara optimal.
Dangan demikian dapat diketahui bila wakaf itu dijalankan atau dilakukan
menurut semestinya akan meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat
sehingga terbentuklah atau terjalinlah hubungan yang harmonis antara si kaya
dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya dengan si miskin akan timbul rasa
syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan rezeki kepadanya, disamping itu
akan timbul rasa hormat kepada si kaya yang telah menolongnya.
Akhirnya timbul sinar keimanan bagi setiap individu dan terhindarlah dari
segala perpecahan dan perselisihan di antara anggota masyarakat. Memng inilah
yang di harapkan dan menjadi sasaran dari ajaran agama Islam.
Maka dapat dirumuskan secara sederhan beberapa hal keutamaan wakaf, sebagai berikut :
1. Melalui wakaf seseorang dapat
menumbuhkan sifat zuhud dan melatih seseorang untuk saling membantu atas
kepentingan orang lain.
2. Dapat menghidupkan lembaga-lembaga
sosial keagamaan maupun kemasyarakatan
untuk mengembangkan potensi umat.
3. Menanamkan kesadaran bahwa di
dalam setiap harta benda itu meski telah menjadi milik seseorang yang secara
sah, tetapi masih ada di dalamnya harta agama yang mesti diserahakan
sebagaimana halnya zakat.
4. Menyadarkan
seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Maka
persiapan itu di antaranya wakaf, sebagai tabung akhirat.
5. Keutamaan lain, dapat penopng dan
penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam, baik aspek ekonomi,
pendidikan, sosial budaya dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf
hukumnya sunah dengan catatan pemberian itu ikhlas karena ingin mendapat ridho
Allah, bukan dengan niat ingin dipuji orang lain sedangkan hibah dan hadiah
hukumnya boleh dengan maksud agar terciptanya kasih sayang antar sesama manusia
terutama bagi pemberi dan penerima wakaf. Ada beberapa Hikmah yang dapat kita
ambil dari Wakaf yaitu Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang
diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain, Berusaha Ikhlas
dalam setiap amal ibadah tanpa mengharap balasan dan dapat menciptakan rasa
kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan
penerima. Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang
berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan)
, al-tasbil(tertawan) dan al-man’u (mencegah).
Sedangkan
menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk
diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang
kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula
diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
Hasbi.1984 .Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta. Bulan Bintang
Ali, Muhammad Daud. 1988. Sistem ekonomi Islam: zakat dan wakaf, Jakarta:
UI Press.
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf. 2007. Fiqih Wakaf. Jakarta. DirJen
Bimbingan Masyarakat Islam. Departemen Agama RI
Dib Al-Bugha,
Mustafa, 2009. t.t., Fiqh al-Mu’awadhah. Damaskus. Darul
Musthafa.
Halim,
Abdul. 2005. Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Muhammad al-Syarbini
al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza,(Dar al-Ihya
al-Kutub: Indonesia, t.t), hal.319.
[2] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum
Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
[3] Hendi Suhendi, fiqh muamalh, PT.
Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010, hlm. 240
[4] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Op.Cit. hal.
25
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, karena atas ridho-Nya lah makalah
yang berjudul hikmah wakaf ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW. Serta para pihak yang telah membantu penyusunan makalah
ini.Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini agar dapat menjadi rujukan untuk
mempelajari tentang pembelahan sel.
Dengan makalah ini kami mencoba memaparkan sedikit mengenai Pengertian
Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf, Sejarah Wakaf , Macam-macam
Wakaf, Syarat dan Rukun Wakaf.
Dalam penulisan makalah ini penulis
mencoba semaksimal mungkin dalam penyusunannya. Namun tidak ada gading yang tak
retak,begitupun dengan makalah ini,oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah sederhana ini.
Semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan,wawasan mengenai materi
pembelahan sel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda yang bisa membangun bagi blog ini oke!!!