Sabtu, 29 November 2014

SYARAT WAJIB SHALAT



SYARAT WAJIB SHALAT

Setelah diketahui bahwa hukum shalat adalah wajib, dengan dasar Al-Qur’an dan Al-Hadits, selanjutnya akan dibahas siapa saja yang mendapat khitab (perintah) untuk melaksanakan kewajiban itu.
Dari hasil ijtihad para ulama baik dari Al-Qur’an meliputi Al-Hadits disimpulkan bahwa, ternyata shalat tidak diwajibkan kepada semua manusia di muka bumi ini. Sebab di dalam menjalankan shalat ada syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus dipenuhi untuk menjadikan shalat itu sah. Konskwensinya orang yang tidak bisa memenuhi syarat dan rukun-rukunnya, maka shalat tidak wajib baginya.
Sebagaimana telah disepakati bersama dari hasil riset yang dilakukan oleh para ulama’, bahwa syarat wajib melakukan shalat itu ada tiga:
  1. Islam
  2. Dewasa (baligh)
  3. Berakal sempurna
Dalam khazanah keilmuan Islam syarat-syarat tersebut biasa diungkapkan dengan istilah mukallaf, yaitu yang dikenai kewajiban menjalankan perintah dan menjauhi larangan, karena sudah dewasa dan berakal sempurna (aql albaligh), sekaligus mendengar seruan Islam. Para ulama’ lebih cenderung menuturkan ketiga hal tersebut secara global dengan alasan bahwa masing-masing dari ketiga syarat tersebut masih banyak memerlukan pembahasan secara detail dan terperinci.
Dalam kitab al-Bajuri, I/129, dijelaskan bahwa selain tiga syarat diatas, masih ada tiga syarat yang harus terpenuhi, yaitu:
  1. Suci dari hadats, haid, dan nifas. Dari sini muncul implikasi hukum yang menyatakan bahwa shalat tidak wajib bagi orang yang haid dan nifas. Bahkan tidak ada kewajiban untuk meng-qadla-inya. Menurut Imam Khatib tidak sah dan menjadi shalat sunat apabila tetap di-qadla-. Hal ini berpegang pada asal hukum ibadah apabila tidak ada perintah (baik wajib atau sunat) maka tidak sah bila dikerjakan. Namun menurut Imam Ramli tetap sah dan menjadi shalat sunat yang tidak ada pahalanya.
  2. Sehat Jasmani secara sempurna (salamat alhawasi)
Maka apabila ada orang yang diciptakan dalam keadaan buta atau tuli walaupun bisa berbicara, tidak ada kewajiban baginya untuk menjalankan shalat. Begitu pula bila ada orang diciptakan semula dalam keadaan sempurna, akan tetapi sebelum menginjak tamyiz dia kena penyakit buta tuli. Berbeda bila penyakit ini datang setelah masa balita sudah tamyiz maka dia tetap terkena hukum wajib mengerjakan shalat. Karena sudah mengetahui hal-hal yang wajib. Seperti halnya haid dan nifas, bila dua “penyakit” ini hilang setelah dewasa, maka dia tidak wajib meng-qadla-i shalat-shalat sebelumnya.
  1. Mendengar seruan Islam. Impelementasinya jika ada orang sejak lahir hidup di pedalaman hutan atau di puncak gunung, sehingga dia sama sekali tidak mendengar seruan Islam, maka shalat tidak wajib baginya, meskipun fisiknya dalam keadaan sempurna. Namun jika suatu saat seruan Islam sampai kepadanya, dan dia sudah sampai pada batas ketentuan orang mukallaf (had almukalaf), maka sudah tentu dia berkewajiban melakukan shalat. Kemudian masalah kewajiban meng-qadla-i shalat sebelumnya ada 2 pendapat:
-          Versi Imam Ramli, tetap tidak wajib meng-qadla. Sebab masa sebelum seruan Islam sampai padanya, dia tidak bisa dikatakan orang mukallaf.
-          Menurut Imam Ibnu Qasim, dia tetap wajib meng-qadla’i shalat-shalat sebelumnya setelah dewasa. Dengan alasan karena dia tidak mau berusaha mencari pengetahuan yang haq (wajib) yang bisa dia ketahui secara prinsipal dan global, maka dia termasuk orang-orang yang sembrono (taqshir).

Implementasi Syarat Islam

Para ulama memasukkan Islam ke dalam syarat wajib shalat bukan syarat sah shalat, karena syarat wajib adalah hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, dan syarat sah shalat tidak bisa lepas dari ini. Sebenarnya sudah maklum bahwa selain orang Islam tidak wajib melakukan shalat. Tetapi kalau kita telah mentah-mentah pemahaman ini akanlah berbahaya. Sebab bukannya tidak mungkin akan muncul kecemburuan sosial dari orang Islam. Karena dengan kata “tidak wajib” seolah mereka tidak terkena hisab (pertanggung jawaban perbuatan di akhirat). Maka untuk menepis prasangka di atas perlu diperjelas kata-kata “wajib”. Maksud wajib di sini adalah tuntutan pada orang-orang Islam semasa di dunia (muthalabah fi dunya), bukan orang secara keseluruhan. Dus tidak menafikan bahwa sesungguhnya orang kafir juga terkena tuntutan (khitab) melakukan shalat, yang nant8inya mendapat siksaan di akhirat. Sebab dia telah meninggalkan hal yang sangat prinsip yaitu: masuk Islam, padahal shalat tidak sah tanpa adanya Islam. Sebagaimana dalam ushul fiqh bahwa orang kafir juga terkena cabang-cabang syari’at.
Dari keterangan dia tas bisa diambil kesimpulan bahwa di dunia ini kita wajib menuntut/menyuruh orang kafir untuk melakukan shalat. Sehingga seandainya dia membangkang maka dia tidak boleh dibunuh. Sebab jika diwajibkan menuntut mereka. Sebagaimana orang kafir yang ada di bawah naungan orang Islam (kafir dzimi).[1] Dari transparansi hukum yang ada, berarti tuntutan (muthalabah) hanya dilihat dari aspek syari’at  (min jihat as-syar’i). Dengan dalil bahwa orang kafir nantinya disiksa karena meninggalkan shalat, sebagaimana dalam Al-Qur’an, saat orang kafir ditanya Allah kenapa bisa masuk neraka saqar, mereka menjawab:

1)
Sebab kami tidak pernah melakukan shalat semasa hidup (Q.S. Al-Mudatsir, 42-43).

Karena sebelumnya orang kafir tidak wajib melakukan shalat, maka tidak wajib pula meng-qadla’i-nya saat dia masuk Islam. Dengan tujuan meringankan (takhfif) supaya dia tertarik masuk islam. Hal ini bertendensi pada firman Allah:

2)

Katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang kafir. Kalau mereka mau menyudahi kekufuran, maka akan diampuni semua apa yang pernah dia lakukan. (QS. Al-Maidah, 6).
Dari lafadz يغفر لهم  para ulama mengambil hukum tidak wajib melakukan shalat sekaligus tidak wajib meng-qadla’inya. Sebab ada kaidah: tidak berkewajiban mengqadlai menunjukkan tidak ada kewajiban mengerjakan.[2]
Kemudian kalau nanti orang kafir yang masuk Islam meng-qadlai shalatnya yang dulu, menurut qaul yang dibuat pegangan oleh Imam Ar-Ramli, qadla-nya tersebut tidak sah. Sedang menurut Imam Ibnu Qasim tetap sah. Dalam masalah ini Imam Ar-Ramli membedakan dengan permasalahan haid dan nifas. Karena orang yang haid atau nifas secara prinsip masih termasuk  ahli ibadah, berbeda dengan orang kafir.
Jadi bisa disimpulkan, selama orang kafir menetapi kekufurannya maka dia tidak bisa dituntut apa-apa kecuali disuruh masuk Islam atau membayar pajak bagi kafir mu’ahad. Berbeda dengan orang murtad (keluar dari Islam), meskipun shalat tetap tidak sah dia lakukan karena tidak Islam, tetapi kena khitab melakukan shalat dan wajib meng-qadla’i nya ketika dia masuk Islam kembali. Hal ini bertujuan untuk taghlidh (memberatkan agar takut keluar dari Islam). Juga karena orang murtad pernah Islam, berarti telah menyanggupi ketentuan-ketentuan yang ada dalam agama Islam, dan beban itu tidak bisa lepas begitu saja dengan dia mengingkari (jahd). Seperti ada orang mengaku punya tanggungan kepada orang lain, maka dia tidak bisa lepas begitu saja dengan ingkar kembali.
Pengembangan hukum di atas, kalau ada orang murtad kemudian gila, maka jika dia masuk Islam tetap harus meng-qadla-i shalat yang ditinggalkan pada waktu gila. Berbeda jika seorang wanita murtad, kemudian dia haid atau nifas, maka jika masuk Islam kembali tidak wajib meng-qadla-i shalat pada masa haid atau nifas.
Dari sini timbul pertanyaan, mengapa antara gila dan haid atau nifas harus dibedakan? Padahal jika keduanya terjadi pada orang yang dalam keadaan  tidak murtad, sama-sama tidak wajib meng-qadla-i shalat yang ditinggalkan.
Menanggapi masalah ini, para ulama melihat antara rukhsah (kemurahan) dan ‘azimat (perpindahan hukum dari wajib melakukan ke hukum wajib meninggalkan). Dengan penjelasan, orang gila yang dalam keadaan Islam boleh tidak melakukan shalat karena ada dispensasi. Sedangkan orang murtad tidak tergolong ahli rukhsah. Sebab ada kaidah fiqh menggariskan:

3)
Dispensasi dalam Islam tidak bisa dihubungkan dengan maksiat.

Sedangkan orang murtad adalah termasuk orang yang maksiat. Berbeda dengan orang yang haid atau nifas, shalat tidak boleh dilakukan karena ada unsur ‘azimat, pun tidak ada kaidah fiqh yang menerangkan bahwa ‘azimat harus tidak berhubungan dengan maksiat.
Perlu dibedakan lagi, kenapa memakan bangkai (hewan yang mati dengan tidak disembelih secara syara’) hukumnya wajib saat kita terpaksa (mudthar) tetap dikatakan seperti rukhsah bukan azimat seperti dalam masalah haid dan nifas. Padahal sebelum terpaksa seseorang wajib menjauhi (tidak mamakan) bangkai tersebut. Dan pada saat dalam keadaan darurat (tidak menemukan makanan lain), maka seseorang wajib memakannya. Seharusnya ini identik sekali dengan definisi azimat.
Di sini para ulama memberi keterangan yang cukup spesifik namun realitas. Perbedaannya kalau menyangkut masalah makanan, tanpa diwajibkan memakan pun seseorang sudah berhasrat memakannya, apalagi dalam keadaan terpaksa (dlarurat). Berbeda dengan ibadah (shalat0 umumnya manusia enggan melakukannya.[3]



Implementasi Syarat Baligh/Dewasa
Syarat dewasa (baligh) ini bisa dengan usia, keluar sperma, atau haid. Konskwensi dari syarat di atas, shalat tidak wajib bagi anak kecil. Sedangkan masalah meng-qadlai-nya terjadi khilaf antara ulama. Permasalahannya adalah jika ada anak kecil sedang melakukan shalat, kemudian di tengah-tengah shalat ia baligh, maka dia wajib menyempurnakannya dengan tanpa mengqadlainya. Meskipun tinjauan ibadah tersebut dalam satu sisi sunat dan dalam sisi yang lain wajib. Hal ini mengecualikan ibadah Haji diwajibkan sekali seumur hidup, sehingga untuk menggugurkan kewajiban tersebut disyaratkan dilakukan dalam keadaan betul-betul sempurna balighnya.
Meskipun anak kecil tidak wajib melakukan shalat, namun bagi orang yang mengasuhnya wajib memerintah melakukannya saat dia sudah berumur tujuh tahun dan sudah tamyiz. Kalau sudah tujuh tahun tapi belum tamyiz, shalat atau ibadahnya belum bisa dikatakan sah, jadi tidak mungkin diperintahkan untuk melakukan shalat.
Kemudian para ulama’ menyimpulkan bahwa seorang anak bisa dianggap tamyiz manakala dia bisa makan, minum, dan bersuci sendiri, atau dia telah tahu mana arah kanan dan mana arah kiri sebagaimana keterangan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud RA:

4)
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW ditanya kapan anak kecil melakukan shalat. Nabi menjawab: “Pada saat dia tahu arah kiri dari arah kanannya”.

Namun ada batasan lagi yang dilontarkan ulama’, yaitu sekira dia bisa menjauhi sesuatu yang berbahaya dan mengambil yang bermanfaat.
Dalam hal ini bukan hanya wajib perintah melakukan shalat saja, bahkan kalau dia meninggalkan shalat dan sudah genap umur 10 tahun, maka bagi orang tua atau pengasuhnya wajib memukul. Tapi pukulannya yang bisa membidik dan tidak mendatangkan bahaya (dlarb at-ta’dib ghaira mubarrahin la al’uqubah). Hikmah dari semua ini agar kalau dia dewasa (baligh), sudah terbiasa dan tidak mudah meninggalkan shalat.

Implementasi Berakal Sempurna
Meskipun orang sudah baligh tapi saat dia tidak punya akal sehat, maka tidak wajib melakukan shalat, semisal gila, epilepsi, dan mabuk. Kemudian kalau dia sembuh atau waras, masalah meng-qadla’i shalatnya ada perincian:
-          Kalau tidak ada unsur sengaja atau sembrono (taqshir wa ta’adi) maka tidak wajib qadla’
-          Namun jika ada unsur sengaja, maka wajib qadla

Hal ini berbeda dengan jika ada orang gila, ayan, atau mabuk, dan tidak wajib meng-qadla’i shalat yang ditinggalkan secara keseluruhan, termasuk pada masa-masa tidak sempurna akalnya. Sebab ada pepatah:

5)
Barang siapa gila dalam keadaan murtad maka dia murtad dalam kegilaannya dan barang siapa murtad dalam kegilaan maka tetap gila meski dia murtad.



[1] Bujairimi alal Manhaj, I/162
[2] Al-Bajuri, I/129
[3] Ibid, 129-130, Op.Cit, 162-164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda yang bisa membangun bagi blog ini oke!!!